Hasilnya, kelompok ini menyuarakan hasil-hasil usulan untuk khittah NU 1926 dalam muktamar di Semarang. Sambutan yang diperoleh cukup menggembirakan, dalam program dasar pengembangan lima tahun sebagai hasil muktamar diuraika tujuan sebagai berikut:
- Menghayati makna seruan kembali ke khittah 1926.
- Memantapkan upaya intern untuk memenuhi seruan khittah tersebut.
- memantapkan cakupan partisipasi NU secara lebih nyata dalam pembangunan bangsa.
Tetapi, usulan ini mengalami pro kontra yang amat hebat dimana pada saat itu timbul dua kubu, yaitu kubu KH. Idham Kholid yang masih tetap berpegang bahwa NU masih harus eksis dalam politik praktis dan kelompok lain justru menyetujui dan mendukung usulan untuk kembali ke khittah NU 1926. Namun upaya ini terus menggelinding, sambil melakukan upaya untuk menetralisir kedua kubu tersebut.
Kelompok intelektual muda mendatangi pesantren-pesantren dan kemudian membentuk forum diskusi yang diberi nama "kelompok diskusi 164" hingga pada tahun 1983 kelompok ini mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh tokoh muda NU yang kemudian dikenal dengan "majlis 24" yang menghasilkan terbentuknya "Tim Tujuh" mereka adalah KH. Abdurrahman Wahid (ketua) HM. Zamroni (wakil ketua), Said Budairy (sekretaris), H. Mahbub Junaidi, Fahmi Saifudin, Daniel Tanjung, dan Ahmad Bagya (semua anggota). Tim ini merumuskan konsep-konsep pembenahan dan pengembangan NU sesuai dengan khittah 1926 serta menyusun pola kepemimpinan. Rumusan yang dihasilkan oleh tim tujuh inilah yang kemudian dijadikan pembahasan pada Munas Alim Ulama dan muktamar NU tahun 1984. Dari forum ini dihasilkan perubahan Anggaran Dasar NU dan program pengembangan NU, rekomendasi mengenai masalah keagamaan, pendidikan, dan ekonomi sesuai acuan khittah NU 1926.
Sedangkan mengenai garis-garis ide dasar perjuangan yang dirumuskan dalam poin-poin khittah NU adalah sebagai berikut:
- Bidang keagamaan, menekankan pada ideologi NU bercirikan Ahlus Sunnah Wal-jama'ah yang didasarkan pada Al-qur'an, Al-hadits, Ijma' dan Qiyas dengan berpedoman dalam bidang tauhid kepada Imam Abu Hasan Al Asyari dan Imam Abu Mansyur Al maturidi, pada bidang fiqih menganut madzhab Syafi'i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Dalam bidang Tasawuf menganut faham Abu Qosim Al Junaidi Al Baghdadi.
- Bidang kemasyarakatan, menitik beratkan prinsip " Attawasuth (bersikap moderat dan demokratis), Al-I'tidal (bersikap adil), Attasamuh (bersikap toleran), Attawazun (bersikap seimbang/tidak berat sebelah), dan Amar Makruf Nahi Mungkar (menyeru pada kebajikan dan melarang pada kemungkaran) yang kemudian dikenal sebagai Mabadi Khairo Ummah.
- Bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana warga NU diarahkan untuk memiliki jiwa kebangsaan, cinta tanah air dan sikap nasionalisme sebagai wujud hubbul wathon minal iman dan penerapan dasar yang digunakan oleh NU yaitu penjagaan keutuhan tanah air (ukhuwah Wathoniyah)
Khittoh NU tidak dimaknai sekedar keluar dari panggung politik, tetapi harus didefinisikan sebagai berikut:
- Khittoh NU sebagai acuan berfikir, bersikap dan bertindak oleh karenanya warga NU harus senantiasa bercermin padanya dalam setiap tingkah laku baik perorangan maupun organisasi serta dalam setiap pengambilan keputusan.
- Landasan khittoh NU adalah paham Islam Ahlus Sunnah Wal-jama'ah, yang diterapkan menurut kondisi masyarakat Indonesia yang mencakup dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan.
- Khittoh NU juga digali dari intisari perjalanan sejarah NU dari masa kemasa.
Kembali ke khottoh NU 1926 membawa konsekuensi secara organisatoris. Misalnya NU mengembalikan pola kepemimpinan pada supremasi ulama. Sebab dalam tekanan sebagai jamiyyah diniyah (organisasi agama) mau tidak mau memerlukan kharisma ulama sebagai pemandu dan pengawas (supervisor) organisasi. Ini berarti pemberian bobot signifikan kepada suriyah. Penegasan inti yang paling penting adalah NU tidak terikat dengan partai politik manapun dan kekuatan politik manapun.
Dengan demikian NU tidak terlibat langsung terhadap politik praktis tetapi lebih berkonsentrasi pada bidang garapan yang bersifat keagamaan, kependidikan, dan peningkatan kualitas berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu gerak langkah organisasi yang bernaung dibawah NU sudah barang tentu (secara otomatis) mengikuti langkah-langkah NU dengan membebaskan diri dari kepentingan-kepentingan politik praktis yang selama ini dimaknai lebih sempit dengan perebutan kursi jabatan dan kekuasaan pada anggota legislatif.