Jumat, 02 Oktober 2015

Khittoh NU dan Nasionalisme Part 2

........
 Hasilnya, kelompok ini menyuarakan hasil-hasil usulan untuk khittah NU 1926 dalam muktamar di Semarang. Sambutan yang diperoleh cukup menggembirakan, dalam program dasar pengembangan lima tahun sebagai hasil muktamar diuraika tujuan sebagai berikut:
  • Menghayati makna seruan kembali ke khittah 1926.
  • Memantapkan upaya intern untuk memenuhi seruan khittah tersebut.
  • memantapkan cakupan partisipasi NU secara lebih nyata dalam pembangunan bangsa.
      Tetapi, usulan ini mengalami pro kontra yang amat hebat dimana pada saat itu timbul dua kubu, yaitu kubu KH. Idham Kholid yang masih tetap berpegang bahwa NU masih harus eksis dalam politik praktis dan kelompok lain justru menyetujui dan mendukung usulan untuk kembali ke khittah NU 1926. Namun upaya ini terus menggelinding, sambil melakukan upaya untuk menetralisir kedua kubu tersebut.

      Kelompok intelektual muda mendatangi pesantren-pesantren dan kemudian membentuk forum diskusi yang diberi nama "kelompok diskusi 164" hingga pada tahun 1983 kelompok ini mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh tokoh muda NU yang kemudian dikenal dengan "majlis 24" yang menghasilkan terbentuknya "Tim Tujuh" mereka adalah KH. Abdurrahman Wahid (ketua) HM. Zamroni (wakil ketua), Said Budairy (sekretaris), H. Mahbub Junaidi, Fahmi Saifudin, Daniel Tanjung, dan Ahmad Bagya (semua anggota). Tim ini merumuskan konsep-konsep pembenahan dan pengembangan NU sesuai dengan khittah 1926 serta menyusun pola kepemimpinan. Rumusan yang dihasilkan oleh tim tujuh inilah yang kemudian dijadikan pembahasan pada Munas Alim Ulama dan muktamar NU tahun 1984. Dari forum ini dihasilkan perubahan Anggaran Dasar NU dan program pengembangan NU, rekomendasi mengenai masalah keagamaan, pendidikan, dan ekonomi sesuai acuan khittah NU 1926.

      Sedangkan mengenai garis-garis ide dasar perjuangan yang dirumuskan dalam poin-poin khittah NU adalah sebagai berikut:
  1. Bidang keagamaan, menekankan pada ideologi NU bercirikan Ahlus Sunnah Wal-jama'ah yang didasarkan pada Al-qur'an, Al-hadits, Ijma' dan Qiyas dengan berpedoman dalam bidang tauhid kepada Imam Abu Hasan Al Asyari dan Imam Abu Mansyur Al maturidi, pada bidang fiqih menganut madzhab Syafi'i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Dalam bidang Tasawuf menganut faham Abu Qosim Al Junaidi Al Baghdadi.
  2. Bidang kemasyarakatan, menitik beratkan prinsip " Attawasuth (bersikap moderat dan demokratis), Al-I'tidal (bersikap adil), Attasamuh (bersikap toleran), Attawazun (bersikap seimbang/tidak berat sebelah), dan Amar Makruf Nahi Mungkar (menyeru pada kebajikan dan melarang pada kemungkaran) yang kemudian dikenal sebagai Mabadi Khairo Ummah.
  3. Bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana warga NU diarahkan untuk memiliki jiwa kebangsaan, cinta tanah air dan sikap nasionalisme sebagai wujud hubbul wathon minal iman dan penerapan dasar yang digunakan oleh NU yaitu penjagaan keutuhan tanah air (ukhuwah Wathoniyah)
      Khittoh NU tidak dimaknai sekedar keluar dari panggung politik, tetapi harus didefinisikan sebagai berikut:
  • Khittoh NU sebagai acuan berfikir, bersikap dan bertindak oleh karenanya warga NU harus senantiasa bercermin padanya dalam setiap tingkah laku baik perorangan maupun organisasi serta dalam setiap pengambilan keputusan.
  • Landasan khittoh NU adalah paham Islam Ahlus Sunnah Wal-jama'ah, yang diterapkan menurut kondisi masyarakat Indonesia yang mencakup dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan.
  • Khittoh NU juga digali dari intisari perjalanan sejarah NU dari masa kemasa.
      Kembali ke khottoh NU 1926 membawa konsekuensi secara organisatoris. Misalnya NU mengembalikan pola kepemimpinan pada supremasi ulama. Sebab dalam tekanan sebagai jamiyyah diniyah (organisasi agama) mau tidak mau memerlukan kharisma ulama sebagai pemandu dan pengawas (supervisor) organisasi. Ini berarti pemberian bobot signifikan kepada suriyah. Penegasan inti yang paling penting adalah NU tidak terikat dengan partai politik manapun dan kekuatan politik manapun. 

      Dengan demikian NU tidak terlibat langsung terhadap politik praktis tetapi lebih berkonsentrasi pada bidang garapan yang bersifat keagamaan, kependidikan, dan peningkatan kualitas berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu gerak langkah organisasi yang bernaung dibawah NU sudah barang tentu (secara otomatis) mengikuti langkah-langkah NU dengan membebaskan diri dari kepentingan-kepentingan politik praktis yang selama ini dimaknai lebih sempit dengan perebutan kursi jabatan dan kekuasaan pada anggota legislatif.

Khittoh NU dan Nasionalisme Part 1

      Salah satu pemikiran yang melatarbelakangi keputusan untuk tidak terikat pada kekuatan politik tertentu adalah bahwa keterlibatan yang berlebihan terhadap politik praktis membawa dampak negatif bagi perkembangan NU itu sendiri. Realitas semacam ini disebabkan oleh para pribadi elit yang lebih mementingkan kepentingan politik dari pada kepentingan jam'iyyah. Dan pada gilirannya setahap semi setahap NU mulai ditinggalkan dan kehilangan bidang-bidang kegiatannya, seperti dakwah, pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya. Kesadaran semacam itu sebenarnya sudah lama muncul dalam benak tokoh NU, dan bukan lagi permasalahan.

      Usulan maupun wacana kembali ke khittah 1926 pertama kali muncul pada muktamar ke 22 di Jakarta, Desember 1959. Seorang juru bicara dari pengurus cabang Mojokerto, KH. Achyat Chamili, menilai bahwa peran politik NU telah hilang yang kemudian beralih pada perorangan. Dan partai sebagai alat politik partai NU telah hilang. Oleh karena itu NU sudah saatnya untuk kembali ke khittah 1926, namun usulan itu hanya didukung oleh satu cabang. Kemudian pemikiran itu bergulir kembali pada tahun 1971 dalam muktamar ke 25 di Surabaya. Kali ini gagasan tersebut langsung dari Rais Aam KH. Wahab Hasbullah, dan gagasan ini mendapat sambutan lebih baik. Namun arus ini kemudian kalah oleh arus ingin mempertahankan kearah partai politik praktis.

      Kandasnya gagasan kembali ke khittah sampai kurun waktu tertentu, jika diperhatikan ada sebab yang menjadikan hal tersebut bisa terjadi, yaitu:

  1. Gagasan itu semata-mata dilandasi alasan politis NU yang akhirnya hanya menjadi alat kepentingan politik pribadi para elitnya, dan karena itu solusi yang ditawarkan senada dan tidak populer. Ketika gagasan itu berada ditengah NU memperoleh keuntungan dalam pergulatan politik. Terlebih lagi peran politisi praktis masih sangat dominan dalam tubuh NU.
  2. Konsep kembalinya ke khittah 1926 tidak terumuskan secara jelas kecuali sebatas pengertian "kembali ke khittah 1926" dan hanya difahami sebagai langkah mundur serta menafikan langkah-langkah NU dalam pengalaman yangtelah diperoleh. Akhirnya Muktamar ke 25 hanya memperhatikan wacana "membuat wadah baru non politis untuk tempat berkembangnya ajaran Islam Ahlus Sunnah Wal-jama'ah.
      Perumusan yang lebih jelas kemudian digulirkan pada muktamar ke 26 di Semarang 1979 yang dulunya semata-mata bersifat politis, kini dengan alasan moral. Bahkan KH. Machrus Ali menyatakan dengan tegas bahwa ditubuh NU telah terjadi kerusakan batiniah yang cukup parah. Dan para tokohnya lebih mengedepankan hub al Risah dan hub al Ajaah (cinta kekuasaan dan cinta kedudukan). Bahkan KH. Ahmad Shidiq menilai perlunya kembali ke khittah Nahdliyyah untuk kembali merenungi gerakan NU, dan menurutnya pula telah terjadi perubahan arah gerakan NU dan perubahan garis-garis besar tingkah laku dan para pendiri NU yang semakin berkurang dikhawatirkan dapat mengaburkan arah perjuangan NU. Maka kembali ke khittah NU 1926 adalah hal yang cukup penting untuk dikedepankan saat itu.

      Sementara generasi baru sedang sibuk membuat  rumusan bagaimana menyelamatkan arah perjuangan NU sebagaimana yang dilaksanakan oleh para pendirinya. Mereka tampil sebagai tokoh intelektual yang lebih identik dengan pemikiran mengambil jalan tengah dengan gagasan-gagasan ulama dan politisi NU. Mereka lebih bisa obyektif dan lebih mudah diterima oleh semua kalangan di NU.

      Dalam dasawarsa orang-orang ini banyak mengedepankan diskusi untuk merumuskan langkah-langkah pembaharuan NU. Mereka merasakan keprihatinan terhadap gerakan NU yang sudah mulai mengalami pembiasan, tetapi mereka juga menyadari bahwa politik adalah dimensi penting dari aktivitas NU secara keseluruhan. Melalui segala pergulatan pemikiran ini kelompok-kelompok intelektual muda NU sampai pada masalah diperlukannya pembaharuan garis-garis perjuangan NU dengan tetap berpegang pada garis-garis perjuangan NU tahun 1926. Namun kali ini landasan pemikiran itu ditopang dengan kokoh. Secara bertahap diiringi tindakan-tindakan nyata. Dan pada tahun 1974 generasi muda NU yang diantaranya KH. Abdurrohman Wahid, Fahmi Saefuddin, Said Budaery, Rozy Munir, Abdullah Syarwani dan Slamet Efendi Yusuf, mulai melakukan perubahan-perubahan dalam tahun 1976. Mereka berusaha melakukan pemerataan ide-ide dikalangan pengurus, ulama dan para tokoh muda lainnya. Sehingga pada tahun 1976 itu mulai diterapkan dalam lembaga-lembaga dibawah NU.
      .......

(bersambung)