Jumat, 02 Oktober 2015

Khittoh NU dan Nasionalisme Part 2

........
 Hasilnya, kelompok ini menyuarakan hasil-hasil usulan untuk khittah NU 1926 dalam muktamar di Semarang. Sambutan yang diperoleh cukup menggembirakan, dalam program dasar pengembangan lima tahun sebagai hasil muktamar diuraika tujuan sebagai berikut:
  • Menghayati makna seruan kembali ke khittah 1926.
  • Memantapkan upaya intern untuk memenuhi seruan khittah tersebut.
  • memantapkan cakupan partisipasi NU secara lebih nyata dalam pembangunan bangsa.
      Tetapi, usulan ini mengalami pro kontra yang amat hebat dimana pada saat itu timbul dua kubu, yaitu kubu KH. Idham Kholid yang masih tetap berpegang bahwa NU masih harus eksis dalam politik praktis dan kelompok lain justru menyetujui dan mendukung usulan untuk kembali ke khittah NU 1926. Namun upaya ini terus menggelinding, sambil melakukan upaya untuk menetralisir kedua kubu tersebut.

      Kelompok intelektual muda mendatangi pesantren-pesantren dan kemudian membentuk forum diskusi yang diberi nama "kelompok diskusi 164" hingga pada tahun 1983 kelompok ini mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh tokoh muda NU yang kemudian dikenal dengan "majlis 24" yang menghasilkan terbentuknya "Tim Tujuh" mereka adalah KH. Abdurrahman Wahid (ketua) HM. Zamroni (wakil ketua), Said Budairy (sekretaris), H. Mahbub Junaidi, Fahmi Saifudin, Daniel Tanjung, dan Ahmad Bagya (semua anggota). Tim ini merumuskan konsep-konsep pembenahan dan pengembangan NU sesuai dengan khittah 1926 serta menyusun pola kepemimpinan. Rumusan yang dihasilkan oleh tim tujuh inilah yang kemudian dijadikan pembahasan pada Munas Alim Ulama dan muktamar NU tahun 1984. Dari forum ini dihasilkan perubahan Anggaran Dasar NU dan program pengembangan NU, rekomendasi mengenai masalah keagamaan, pendidikan, dan ekonomi sesuai acuan khittah NU 1926.

      Sedangkan mengenai garis-garis ide dasar perjuangan yang dirumuskan dalam poin-poin khittah NU adalah sebagai berikut:
  1. Bidang keagamaan, menekankan pada ideologi NU bercirikan Ahlus Sunnah Wal-jama'ah yang didasarkan pada Al-qur'an, Al-hadits, Ijma' dan Qiyas dengan berpedoman dalam bidang tauhid kepada Imam Abu Hasan Al Asyari dan Imam Abu Mansyur Al maturidi, pada bidang fiqih menganut madzhab Syafi'i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Dalam bidang Tasawuf menganut faham Abu Qosim Al Junaidi Al Baghdadi.
  2. Bidang kemasyarakatan, menitik beratkan prinsip " Attawasuth (bersikap moderat dan demokratis), Al-I'tidal (bersikap adil), Attasamuh (bersikap toleran), Attawazun (bersikap seimbang/tidak berat sebelah), dan Amar Makruf Nahi Mungkar (menyeru pada kebajikan dan melarang pada kemungkaran) yang kemudian dikenal sebagai Mabadi Khairo Ummah.
  3. Bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana warga NU diarahkan untuk memiliki jiwa kebangsaan, cinta tanah air dan sikap nasionalisme sebagai wujud hubbul wathon minal iman dan penerapan dasar yang digunakan oleh NU yaitu penjagaan keutuhan tanah air (ukhuwah Wathoniyah)
      Khittoh NU tidak dimaknai sekedar keluar dari panggung politik, tetapi harus didefinisikan sebagai berikut:
  • Khittoh NU sebagai acuan berfikir, bersikap dan bertindak oleh karenanya warga NU harus senantiasa bercermin padanya dalam setiap tingkah laku baik perorangan maupun organisasi serta dalam setiap pengambilan keputusan.
  • Landasan khittoh NU adalah paham Islam Ahlus Sunnah Wal-jama'ah, yang diterapkan menurut kondisi masyarakat Indonesia yang mencakup dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan.
  • Khittoh NU juga digali dari intisari perjalanan sejarah NU dari masa kemasa.
      Kembali ke khottoh NU 1926 membawa konsekuensi secara organisatoris. Misalnya NU mengembalikan pola kepemimpinan pada supremasi ulama. Sebab dalam tekanan sebagai jamiyyah diniyah (organisasi agama) mau tidak mau memerlukan kharisma ulama sebagai pemandu dan pengawas (supervisor) organisasi. Ini berarti pemberian bobot signifikan kepada suriyah. Penegasan inti yang paling penting adalah NU tidak terikat dengan partai politik manapun dan kekuatan politik manapun. 

      Dengan demikian NU tidak terlibat langsung terhadap politik praktis tetapi lebih berkonsentrasi pada bidang garapan yang bersifat keagamaan, kependidikan, dan peningkatan kualitas berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu gerak langkah organisasi yang bernaung dibawah NU sudah barang tentu (secara otomatis) mengikuti langkah-langkah NU dengan membebaskan diri dari kepentingan-kepentingan politik praktis yang selama ini dimaknai lebih sempit dengan perebutan kursi jabatan dan kekuasaan pada anggota legislatif.

Khittoh NU dan Nasionalisme Part 1

      Salah satu pemikiran yang melatarbelakangi keputusan untuk tidak terikat pada kekuatan politik tertentu adalah bahwa keterlibatan yang berlebihan terhadap politik praktis membawa dampak negatif bagi perkembangan NU itu sendiri. Realitas semacam ini disebabkan oleh para pribadi elit yang lebih mementingkan kepentingan politik dari pada kepentingan jam'iyyah. Dan pada gilirannya setahap semi setahap NU mulai ditinggalkan dan kehilangan bidang-bidang kegiatannya, seperti dakwah, pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya. Kesadaran semacam itu sebenarnya sudah lama muncul dalam benak tokoh NU, dan bukan lagi permasalahan.

      Usulan maupun wacana kembali ke khittah 1926 pertama kali muncul pada muktamar ke 22 di Jakarta, Desember 1959. Seorang juru bicara dari pengurus cabang Mojokerto, KH. Achyat Chamili, menilai bahwa peran politik NU telah hilang yang kemudian beralih pada perorangan. Dan partai sebagai alat politik partai NU telah hilang. Oleh karena itu NU sudah saatnya untuk kembali ke khittah 1926, namun usulan itu hanya didukung oleh satu cabang. Kemudian pemikiran itu bergulir kembali pada tahun 1971 dalam muktamar ke 25 di Surabaya. Kali ini gagasan tersebut langsung dari Rais Aam KH. Wahab Hasbullah, dan gagasan ini mendapat sambutan lebih baik. Namun arus ini kemudian kalah oleh arus ingin mempertahankan kearah partai politik praktis.

      Kandasnya gagasan kembali ke khittah sampai kurun waktu tertentu, jika diperhatikan ada sebab yang menjadikan hal tersebut bisa terjadi, yaitu:

  1. Gagasan itu semata-mata dilandasi alasan politis NU yang akhirnya hanya menjadi alat kepentingan politik pribadi para elitnya, dan karena itu solusi yang ditawarkan senada dan tidak populer. Ketika gagasan itu berada ditengah NU memperoleh keuntungan dalam pergulatan politik. Terlebih lagi peran politisi praktis masih sangat dominan dalam tubuh NU.
  2. Konsep kembalinya ke khittah 1926 tidak terumuskan secara jelas kecuali sebatas pengertian "kembali ke khittah 1926" dan hanya difahami sebagai langkah mundur serta menafikan langkah-langkah NU dalam pengalaman yangtelah diperoleh. Akhirnya Muktamar ke 25 hanya memperhatikan wacana "membuat wadah baru non politis untuk tempat berkembangnya ajaran Islam Ahlus Sunnah Wal-jama'ah.
      Perumusan yang lebih jelas kemudian digulirkan pada muktamar ke 26 di Semarang 1979 yang dulunya semata-mata bersifat politis, kini dengan alasan moral. Bahkan KH. Machrus Ali menyatakan dengan tegas bahwa ditubuh NU telah terjadi kerusakan batiniah yang cukup parah. Dan para tokohnya lebih mengedepankan hub al Risah dan hub al Ajaah (cinta kekuasaan dan cinta kedudukan). Bahkan KH. Ahmad Shidiq menilai perlunya kembali ke khittah Nahdliyyah untuk kembali merenungi gerakan NU, dan menurutnya pula telah terjadi perubahan arah gerakan NU dan perubahan garis-garis besar tingkah laku dan para pendiri NU yang semakin berkurang dikhawatirkan dapat mengaburkan arah perjuangan NU. Maka kembali ke khittah NU 1926 adalah hal yang cukup penting untuk dikedepankan saat itu.

      Sementara generasi baru sedang sibuk membuat  rumusan bagaimana menyelamatkan arah perjuangan NU sebagaimana yang dilaksanakan oleh para pendirinya. Mereka tampil sebagai tokoh intelektual yang lebih identik dengan pemikiran mengambil jalan tengah dengan gagasan-gagasan ulama dan politisi NU. Mereka lebih bisa obyektif dan lebih mudah diterima oleh semua kalangan di NU.

      Dalam dasawarsa orang-orang ini banyak mengedepankan diskusi untuk merumuskan langkah-langkah pembaharuan NU. Mereka merasakan keprihatinan terhadap gerakan NU yang sudah mulai mengalami pembiasan, tetapi mereka juga menyadari bahwa politik adalah dimensi penting dari aktivitas NU secara keseluruhan. Melalui segala pergulatan pemikiran ini kelompok-kelompok intelektual muda NU sampai pada masalah diperlukannya pembaharuan garis-garis perjuangan NU dengan tetap berpegang pada garis-garis perjuangan NU tahun 1926. Namun kali ini landasan pemikiran itu ditopang dengan kokoh. Secara bertahap diiringi tindakan-tindakan nyata. Dan pada tahun 1974 generasi muda NU yang diantaranya KH. Abdurrohman Wahid, Fahmi Saefuddin, Said Budaery, Rozy Munir, Abdullah Syarwani dan Slamet Efendi Yusuf, mulai melakukan perubahan-perubahan dalam tahun 1976. Mereka berusaha melakukan pemerataan ide-ide dikalangan pengurus, ulama dan para tokoh muda lainnya. Sehingga pada tahun 1976 itu mulai diterapkan dalam lembaga-lembaga dibawah NU.
      .......

(bersambung)

Rabu, 30 September 2015

Prinsip Khusus Nahdlatul Ulama

      Dalam prinsip khusus ini, NU mengikuti prinsip bahwa dalam kemasyarakatan memiliki ciri khas tertentu. Hal ini dibuktikan dengan ciri dan karakter tertentu yang ditunjukkan lewat sikap dan karakter. Prinsip khusus itu adalah sebagai berikut:
  • Attawasuth, artinya mengambil jalan tengah atau pertengahan. Bahwa NU tidak bersikap ekstrem baik ekstrem kanan ( yang berkedok agama ) maupun ekstrem kiri (komunis). Karena kebijakan memang selamanya terletak diantara dua ujung (kana dan kiri). Sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 143. Sikap tawasuth ini sebagai bukti bahwa NU yang bersifat moderat baik dalam kegiatan sosial politik maupun agama. Dalam kehidupan sosial politik NU tidak pernah melakukan tindakan-tindakan makar yang melawan negara. Bahkan NU adalah organisasi yang mempunyai peranan signifikan dalam memperjuangkan kemerdekaan maupun mempertahankan kemerdekaan. Dalam bidang agama, NU tetap istiqomah menjalankan ajaran Islam Ahlus sunnah Wal-jama'ah, ajaran yang mengajarkan kita untuk berlaku adil ditengah kehidupan bersama, dan selalu bersikap membangun.
  • Al i'tidal berarti tegak lurus, tidak condong kekanan atau kekiri. Diambil dari kata adlu, yang berarti keadilan sebagaimana tercantum dalam Al-qur'an surat Al-Maidah ayat 8. kesimpulannya adalah bahwa warga NU bersikap tidak kompromi dengan sikap mencampuradukkan antara yang benar dan yang salah. NU juga tidak berpengaruh kepentingan-kepentingan sesaat, dengan mengorbankan sesuatu yang prinsip bagi NU dan umat.
  • Attawazun, yang berati keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak berlebihan suatu unsur atau kekurangan suatu unsur. Prinsip tawazun ini diambil dari kata Al-Waznu yang berarti alat penimbang. Yang dimaksud disini adalah bahwa NU menyerasikan  antara khidmah kepada Allah dan khidmah kepada manusia, menyelaraskan masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Bagi NU tujuan hidup yang ideal adalah bahagia dunia dan akhirat.
  • Attasamuh, yang berarti toleran. Maksudnya adalah Nu toleran terhadap perbedaan pandangan dalam masalah keagamaan, terutama masalah khilafiyah/furuiyyah. Begitu pula masalah yang berhubungan dengan sosial kebudayaan atau kemasyarakatan, sebagaimana dilakukan oleh walisongo ketika berdakwah. Yakni dengan mengejawantahkan ajaran agama melalui sosial kultur yang ada di lingkungan masyarakat.
  • Amar Makruf Nahi Mungkar, artinya mengajak pada kebajikan dan mencegah pada kemungkaran. Maksudnya mendorong kepada kebaikan, selalu mempunyai kepekaan terhadap kejadian-kejadian dilingkungan dan mencegah hal-hal yang akan merusak moralitas masyarakat berdasarkan tinjauan syariat.
Prinsip-prinsip ini sesuai dengan Ahlus Sunnah Wal-jama'ah yaitu:
  • berusaha sekuat tenaga untuk memurnikan aqidah dari pengaruh luar.
  • keseimbangan dalil aqli yang berasal dari akal dan dalil naqli yang berdasarkan pada Al-qur'an dan Hadits dengan pengertian dalil naqli.
  • tidak mudah menjatuhkan vonis musrik, kufur, dan lain sebagainya, karena sesuatu sebab belum jelas.
Dari prinsip-prinsip diatas maka terbentuklah perilaku warga NU, baik tingkah laku perorangan maupun organisasi, yaitu sebagai berikut:
  1. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma ajaran Islam.
  2. Mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi.
  3. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan berkhidmat serta berjuang.
  4. Menjunjung tinggi persaudaraan (ukhuwah) persatuan (al-itihad) serta kasih sayang.
  5. Meluhurkan kemuliaan moral (akhlakul karimah) dan menjunjung tinggi nilai kejujuran (ashidqu) dalam berfikir, bersikap dan bertingkah laku.
  6. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa dan negara.
  7. Menjunjung tinggi ilmu pengetahuan serta para ahlinya.
  8. Menjungjung tinggi nilai amal, kerja, dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
  9. Selalu siap untuk menyesuaikan diri sengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan bagi umat.
  10. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu dan mempercepat perkembangan masyarakat kearah kebaikan.
  11. Menjunjung tinggi kebersamaan ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk mencapai hal diatas, beberapa ikhtiar yang dilakukan NU antara lain:
  1. Peningkatan media silahturahim/berkomunikasi inter relasi antar ulama, terutama ulama yang menggunsksn madzhab.
  2. Peningkatan kegiatan dibidang keilmuan dan pengkajian suatu disiplin ilmu dan pendidikan/pengajaran.
  3. Peningkatan kegiatan penyiaran agama Islam, pembangunan sarana peribadatan dan pelayanan sosial, seperti masjid, pondok pesantren, panti asuhan dan lain-lain.
  4. Peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat, melaui kegiatan yang terarah seperti bidang pertanian, perniagaan dan lain-lain.

Selasa, 29 September 2015

Prinsip Umum Nahdlatul Ulama

      Nahdlatul Ulama sebagai organisasi sosial keagamaan, NU bergerak dibidang dakwah, pendidikan, dan sosial ekonomi harus terus menerus melakukan pemenuhan tuntutan masyarakat, namun demikian agar NU tidak terjebak pada kesalahan-kesalahan fatal yang mengakibatkan NU akan kehilangan misinya. Maka NU harus harus memegang prinsip-prinsip perjuangan NU iti sendiri. Demikian pula dalam membangun organisasi, NU tetap memegang prinsip yang telah ditetapkan. Adapun prinsip-prinsip yang ditetapkan antara lain:
  •  Asas Kepeloporan
      Diharapkan NU menjadi penuntun segala peradapan dunia yang makin perkembang. Sebagai bukti, dimasa lalu NU bergerak dan menjadi pelopor perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan. Dan NU sudah memiliki beberapa angkatan perang seperti Pasukan Hisbullah dan Sabilillah.

      Demikian pula NU pada masa reformasi, NU juga ikut serta mempelopori garakan reformasi dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
  •  Asas Kesinambungan
      Dimaksudkan agar NU mampu meneruskan apa yang telah dilakukan oleh para pendahulunya. Dengan prinsip istiqomah pada jalur Ahlus sunnah Wal-jama'ah yang dalam hal ini berlaku kaidah: Wal Muhafadzotu "Alalqodimissholih Walakhdzu Bijadidil Ashlah" yang artinya "Tetap berpagang teguh pada hal-hal lama yang masih baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik".

      Melalui prinsip tersebut, NU bukan hanya menjadi organisasi yang melestarikan Aswaja, tetapi juga aktif melakukan kajian-kajian sosial dan keagamaan kontemporer sebagai langkah pengamalan dan pengembangan ajaran Ahlus Sunnah Wal-jama'ah.
  •  Asas Penyesuaian Dengan Tuntutan Zaman
      Dimaksudkan agar NU mampu menciptakan berbagai kegiatan dan pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan tuntutan zaman, baik untuk memenuhi tuntutan anggota maupun masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan ini pula NU diharapkan menjadi organisasi yang kreatif dan mampu berpartisipasi untuk memajukan masyarakat Indonesia baik lahir maupun batin.
  • Asas kemandirian
      Melalui azas ini, NU diharapkan menjadi organisasi yang mandiri dalam semua bidang, dalam bidang politik misalnya NU tidak memiliki ikatan dengan organisasi partai politik, sehingga NU dapat melakukan dakwah dengan bebas dan melaksanakan Amar Ma'ruf Nahi Munkar.

Senin, 28 September 2015

PERANAN NAHDLATUL ULAMA DALAM BIDANG AGAMA DAN SOSIAL BUDAYA

1. Peranan NU dalam Bidang Agama

      Nahdlatul Ulama dalam perannya sebagai organisasi sosial keagamaan sepanjang sejarahnya selalu berusaha melestarikan, membela dan mengembangkan Islam yang berideologikan Ahlus Sunnah Wal-jama'ah. Semantara pengertian Ahlus sunnah Wal-jama'ah adalah para penganut i'tikad dan amaliyah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sehingga semangat NU dalam memperjuangkan Islam secara universal sudah tampak sebelum bangsa Indonesia merdeka.

      Ulama NU dalam rangka mewujudkan kondisi bangsa Indonesia yang berdasarkan atas nilai-nilai agama untuk landasan berjuang melakukan banyak upaya yang dilaksanakan seperti ulama NU menerima pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara dan menempatkannya sebagai azas tunggal, dimana pancasila tidak dapat menggantikan agama dan bukan agama. Tetapi yang terpenting adalah mengamankan pengertian yang benar terhadap pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen sesuai nilai-nilai agama.

      Akhirnya penerimaan pengamalan pancasila yang berasal dari NU, merupakan perwujudan dari upaya umat Islam untuk melaksanakan syariat agamanya. Sebagaimana sila ketuhanan yang maha Esa sebagai dasar negara RI mencerminkan Tauhid menurut pengertian keimanan sesuai dangan pasal 29 ayat satu. Begitu juga agama-agama lain yang menerima pancasila sebagai azas tunggal. Dan agama merupakan nilai-nilai yang berisi ajaran-ajaran yang dijadikan Allah sebagai pedoman bagi manusia dunia akhirat. Demikian pula dalam mengisi kemerdekaan, NU dengan peran keagamaannya mampu menggalang persaudaraan tidak hanya umat seagama, tetapi juga dengan umat yang berbeda agama dengan tetap menganut ukhuwah wathoniyah, dan dengan memupuk dan mengembangkan kesadaran sebagai bangsa yang berBhineka Tunggal Ika. Sehingga dimasa kemerdekaan, peran NU dibidang keagamaan adalah:
1. Sudah mengusahakan terbukanya wawasan warga NU dalam sikap beragama. Terbukti NU sebagai organisasi mampu menyesuaikan diri dengan kelompok yang lain dan sudah mempelopori Pancasila sebagai azas tunggal.
2. Agama sebagai ideologi dalam berjuang untuk kebaikan umat. Misalnya agama sebagai sumber moral dalam semua aspek kehidupan untuk bermasyarakat dan meraih kemerdekaan.

2. Peranan NU dalam bidang Sosial Budaya

      Peranan tokoh-tokoh NU dalam mensukseskan program mencerdaskan generasi bangsa sangatlah besar, sebab pada tahun 1984, NU sudah memiliki 16.230 buah tempat pendidikan yang tersebar diseluruh Indonesia dengan nilai 1.6 triliyun. Aset yang sangat besar ini terus dipertahankan bahkan akan ditingkatkan melalui kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan NU.

      Sebagai organisasi dakwah, NU memiliki 2 macam corak pendidikan yaitu pendidikan formal dan non formal seperti pesantren, yang terdiri dari sekolah umum, madrasa sampai perguruan tinggi. Dalam badan struktur organisasi NU dibina oleh LP Maarif dan pondok pesantren dibina oleh RMI (Rabithah Maahid Al Islamiyah). Kemudian pada tahun 1997 telah didirikan lembaga kemaslahatan keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) sebagai kelanjutan dari program Muslimat NU yang lebih dulu bergerak mengurusi masalah kependudukan sejak tahun 1969.
Program-program LKKNU terutama ditujukan pada warga NU dan lembaga-lembaga yang dimilikinya untuk merealisasikan maksudnya sebagaimana telah tersebut diatas maka LKKNU kemudian menyelenggarakan lokakarya tentang KB dan kependudukan dipesantren-pesantren. Pelatihan para penyuluh KB yang sesuai dengan syariat agama Islam dan pelatihan guru, serta mengadakan studi banding tentang pengembangan KB ke luar negeri seperti, Mesir, Tunisia, Turki dan Filiphina.

      Pada tahun 1995 NU sudah mendirikan Bank pengkreditan rakyat (BPR) yang diberi nama NUSUMA UTAMA. Disamping itu NU juga memiliki lembaga Lajnah Taklif wannasyir sebagai lembaga yang menangani perkembangan penulisan karangan, buku, kitab, dan penerbitan-penerbitan lainnya.

Rabu, 16 September 2015

PERAN NAHDLATUL ULAMA DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN



a. Politik Kolonial Belanda
       Tiga setengah abad lamanya bangsa Indonesia dijajah bangsa Belanda. Keinginan untuk menjajah bangsa kita tersebut mempunyai 2 tujuan, yaitu menjajah dan mempertahankan kekuasaannya di negeri kita. Ada 3 cara yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk tetap bertahan di Indonesia antara lain sebagai berikut:
1. Melaksanakan politik "Device Et Impera".
2. Menipu rakyat dengat teori Kolonila, yaitu "White Man's Burden" (orang kulit putih yang memiliki                 tanggung jawab) dan kedatangan mereka untuk tugas suci "Mission Secree".
3. Menanamkan nilai yang menimbulkan penyakit "infieroty complex" dikalangan bangsa Indonesia.

        Untuk mencapai tujuannya, mereka mengadu domba rakyat Indonesia, mereka terus menghembuskan isu-isu politik yang dapat menimbulkan konflik dikalangan bangsa kita. Dalam waktu singkat muncullah penyakit kesukuan, kedaerahan, dan lain-lain. Indonesia menjadi terpecah belah dan persatuan bangsa menjadi tercabik-cabik. Akibatnya kekuatan Islam lumpuh total sehingga Belanda dapat menjajah bangsa kita dalam waktu yang cukup lama.
         Perlu diketahui bahwa Belanda menjajah bangsa kita juga tidak hanya dalam bidang politik militer dan ekonomi saja, tetapi juga dibidang budaya yang kemudian kita kenal dengan "Imperialisme kebudayaan", yang memaksa bangsa kita agar bergaul, bercakap dan berbicara serta berbudaya dengan cara hidup dan kebiasaan mereka. Pada masa itu bangsa Indonesia di Belandakan dengan berbagai cara. Mereka menjadikan bangsanya superior sehingga bangsa kita menjadi imperior dan selalu merasa minder dalam bersikap. Terlebih lagi bangsa kita dilanda wabah penyakit yang hebat, baik penyakit fisik maupun penyakit mental. Apa yang datang dari barat dianggap modern dan yang berasal dari bangsa kita dianggap kolot.
         Umat Islam merupakan mayoritas, oleh karena itu penjajah kolonial menganggap bahwa umat Islam adalah musuh terberat bagi mereka pada masa itu. Asumsi itu sangat beralasan karena persatuan dan kesatuan umat Islam sangatlah kuat. Ajaran ukhuwah dimata umat Islam sudah mendarah daging. Untuk itu mereka membuat isu-isu perpecahan dikalangan umat Islam dengan berbagai cara dan berbagai lini diantarana adalah dengan cara menciptakan jurang pemisah dengan mengelompokkan umat Islam menjadi 2, yaitu kelompok modern dan kelompok tradisional. Meskipun isu kelompok ini sangat tidak obyektif dan bersifat relatif, karena tolak ukur modern dan tradisional hanya didasarkan pada pandangan orang Eropa termasuk Belanda. Imperialisme kebudayaan ini tidak hanya dihembuskan di Indonesia saja tetapi juga di negeri-negeri lain seluruh daratan Asia dan Afrika.

b. Peranan para Ulama dalam mengusir Penjajah

         Ulama sebagai pewaris para nabi sekaligus pewaris ajaran Islam mempunyai kedudukan yang tinggi dikalangan umat manusia, sehingga ulama ditaati oleh umat Islam setelah menaati Allah dan Rasul-Nya. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, peranan ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan sangatlah besar terutama dalam perjuangan melawan Belanda dan Jepang. Selama 3,5 abad dijajah Belanda dan Jepang, umat Islam dipimpin para ulama melakukan perlawanan yang heroik dan patriotik. Kemunculan tokoh ulama dalam memimpin umat melawan penjajah adalah bukti peran penting ulama dalam memperjuangkan hak kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Mereka antara lain, pangeran Antasari di Banjarmasin, Imam Bonjol di Padang Sumatra Barat, Teuku Umar dan Teuku Cik Di Tiro dari Aceh, dan pangeran Diponegoro di pulau Jawa serta masih banyak lagi para ulama sekaligus pahlawan pejuang kemerdekaan yang tidak dapat kita sebutkan satu per satu.
         Namun demikian, perlawanan para ulama dengan mudah dipatahkan oleh penjajah, karena sifat perjuangan masih bersifat kedaerahan. Strategi penolakan kerjasama dengan kolonial Belanda dilakukan dimana-mana diantaranya dengan melalui jalur pendidikan yaitu dengan mendirikan pesantren dan mushola sebagai pusat kegiatan. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk penyelamatan terhadap sisa-sisa  kekuatan kaum Muslimin untuk menandingi sekaligus memerangi pengaruh penjajah terutama dalam bentuk budaya. Namun demikian langkah-langkah yang dilakukan oleh para ulam dalam menyusun kekuatan sedikit membawa kerugian bagi perkembangan umat Islam pada masa berikutnya, sedang disisi lain memiliki keuntungan yaitu dapat memupuk dan memelihara dari pengaruh imperialisme budaya.
         Pada masa itu ulama menyatakan "haram" bagi orang yang berpakaian dan berbahasa serta berperilaku sebagaimana orang-orang Belanda. Perlu diketahui bahwa kata "haram" disini bukan dilihat dari segi hukum Diniyyah, tetapi dilihat dari hukum Siyasah. Artinya lebih pada strategi politik koorperatif dari warga Nahdlatul Ulama pada sikap dan budaya penjajah kolonial penjajah Belanda. Hal tersebut diberlakukan karena saat itu bangsa Indonesia dijajah tidak hanya dibidang politik, ekonomi, dan militer, tetapi juga pada ranah budaya sosial. Sehingga sikap koorperatif para ulama merupakan cara untuk mempertahankan dan membentengi warga Nahdlatul Ulama dari pengaruh imperialisme barat dalam sosial budaya.
         Pada tahun 1596 bangsa Belanda yang dipimpin oleh Cornelis De Houtman menginjakkan kakinya di tanah air kita, disusul dengan ekspedisi-ekspedisi lain yang datamg secara bergelombang. Sehingga tahun 1750 bangsa Belanda berhasil menanamkan kekuasaannya. Para ulama menanggapinya dengan tegar sebagai suatu peristiwa yang harus dihadapi. Pada tahun 1628 M, raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo melakukan serangan besar-besaran ke Batavia, bahkan seluruh Nusantara, kecuali Aceh yang tak terkalahkan oleh Belanda.
         Untuk menggalang persatuan dan kesatuan umat Islam, maka KH. Hasyim Asy'ari dan para ulama NU yang melalui Nahdlatul Ulama berusaha dengan gigih menghilangkan sifat kedaerahan dan bahkan mampu berperan memperjuangkan kemerdekan bangsa Indonesia.
         

Sabtu, 12 September 2015

Tasawuf Aswaja ala NU

     Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah memiliki prinsip bahwa hakiki tijuan hidup adalah tercapainya keseimbangan kepentingan dunia dan akhirat, serta selalu mendekatkan diri pada Allah SWT. Untuk dapat mendekatkan diri pada Allah, diperlukan perjalanan spiritual yang bertujuan memperoleh hakikat dan kesempurnaan hidup. Namun hakikat tidak boleh dicapai dengan meninggalkan rambu-rambu syari'at yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al-qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. ini merupakan prinsip dari tasawuf Aswaja.

     Kaum Nahdliyin dapat memasuki kehidupan sufi melalui cara-cara yang telah digunakan oleh orang sufi tertentu dalam bentuk thariqah. Tidak semua thariqah memiliki sanad kepada Nabi Muhammad, dan yang tidak memiliki sanad pada Nabi Muhammad tidak diterima sebagai thariqah mu'tabarah oleh Nahdliyin.

     Jalan yang telah dicontohkan Nabi Muhammad dan pewarisnya, adalah jalan yang tetap memegang teguh pada perintah-perintah syariat seperti ajaran-ajaran tasawuf yang terdapat dalam tasawuf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi. Tasawuf model al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi diharapkan umat akan dinamis dan dapat menyandingkan antara kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia, seperti yang ditujukan oleh Walisongo yang menyerukan Islam di Indonesia. Dengan model tasawuf yang moderat memungkinkan umat Islam secara individu memiliki hubungan langsung dengan Tuhan dan secara berjama'ah dapat melakukan gerakan kebaikan umat. Sehingga menjadikan umat memiliki kesalehan individu dan kesalehan sosial